top of page

Akses Internet Terbatas, Memunculkan Disparitas

Updated: Sep 20, 2020



Kebijakan penutupan kegiatan belajar-mengajar tatap muka di sekolah sejak awal Maret 2020 akibat pandemi Covid-19 membuat hampir 60 juta siswa tidak bisa belajar di sekolah. Ironisnya, mayoritas di antara mereka tidak bisa mengakses pembelajaran jarak jauh.


Belajar dari rumah merupakan tantangan terbesar karena keterbatasan para siswa dalam mengakses internet, sarana listrik, dan minimnya pilihan pembelajaran alternatif secara luring (offline). Anak-anak di perdesaan yang memiliki komputer atau laptop dan sambungan internet di rumahnya kurang dari 15 persen, sedangkan di wilayah perkotaan hanya 25 persen anak memiliki komputer atau laptop dan sambungan internet.


Situasi tersebut terungkap dalam Diskusi Webinar ”Dampak Sosial Ekonomi Covid-19 pada Anak-anak di Indonesia: Tantangan Menjaga Kesejahteraan Anak Saat Pandemik” yang digelar Unicef Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Senin (11/5/2020).

Tampil sebagai pembicara Spesialis Kebijakan Sosial Unicef Indonesia Angga Dwi Martha dan Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, dengan moderator Ketua Divisi Jender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Endah Lismartini.


Krisis pembelajaran merupakan salah satu dari dampak sosial ekonomi dari Covid-19 bagi anak-anak di Indonesia.

Menurut Angga dalam Laporan Unicef Indonesia, krisis pembelajaran merupakan salah satu dari dampak sosial ekonomi dari Covid-19 bagi anak-anak di Indonesia. Tiga dampak lain adalah krisis kemiskinan anak, krisis gizi, dan krisis pengasuhan dan keselamatan anak.


Pembelajaran jarak jauh (PJJ) merupakan salah satu tantangan besar karena banyak siswa di Indonesia tidak bisa belajar. Aplikasi Data Pokok Pendidikan daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan April 2020 menggambarkan bagaimana kondisi siswa tidak bisa belajar dari rumah karena keterbatasan akses internet, listrik, dan lain-lain.


”Krisis pembelajaran juga terlihat dari tantangan yang dihadapi para guru dan siswa untuk beralih model pembelajaran e-learning. Tak hanya itu, anak-anak miskin dan penyandang disabilitas juga menghadapi peningkatan disparitas, serta berisiko pada peningkatan jumlah anak putus sekolah,” kata Angga.


Untuk itulah, Unicef merekomendasikan agar pemerintah mendukung anak supaya tetap belajar dengan memperluas opsi metode belajar dari rumah agar tersedia pula metode yang minim atau tanpa teknologi, serta mengawasi pembelajaran dan partisipasi murid melalui platform daring.


Saat ini, perlu diprioritaskan prinsip ”lebih sedikit namun berkualitas”, yaitu dengan fokus mengajarkan keterampilan dan pengetahuan paling esensial dalam situasi keterbatasan sumber daya serta memberikan guru dukungan dan bimbingan terkait PJJ.


Pemerintah juga diharapkan menyediakan pendanaan publik untuk anak. ”Pastikan bahwa pengurangan pendanaan dan pengalokasian ulang anggaran pemerintah dalam rangka penanggulangan pandemi tidak mengganggu pelayanan untuk anak di sektor pendidikan dan pelayanan sosial,” ucapnya.


DISPARITAS AKSES

Retno  memaparkan, hingga 5 Mei 2020 lalu, KPAI menerima 258 pengaduan  terkait PJJ, di mana 97 persen di antaranya berasal dari siswa dan 3 persen dari orangtua siswa.

Berdasarkan survei, kebijakan belajar dari rumah yang dilakukan mendadak ternyata tidak direspons dengan cepat oleh para penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, termasuk Kemdikbud. PJJ berjalan tanpa komunikasi, koordinasi, dan fasilitasi sehingga guru dan siswa menjadi korban.


”Kalau kondisi ini terus terjadi, pendidikan berkualitas dan berkeadilan tidak akan tercapai. PJJ juga hanya memfasilitasi anak-anak dari keluarga kelas menengah dan atas yang relatif memiliki kemampuan dan akses digitalisasi yang lebih dari memadai,” ujar Retno.

Bagi anak-anak kelas menengah dan atas, pulsa dan kuota internet bukan masalah. Namun, bagi mayoritas siswa dari keluarga kelas bawah, apalagi yang berada di pelosok, teknologi masih merupakan barang mewah yang sulit dijangkau.


Di Provinsi Papua, 54 persen dari 608.000 pelajar tidak bisa mengikuti PJJ karena tidak ada peralatan, kuota internet, dan listrik. Bahkan di kota besar seperti Bogor, ada 11 persen siswa yang tidak bisa melakukan PJJ dengan alasan alat dan kuota internet.


”Pandemi ini mengungkapkan fakta lama yang terpendam, yaitu disparitas mencolok dalam akses anak terhadap pendidikan berkualitas yang berkeadilan. Fakta tersebut seharusnya menjadi motivasi negara untuk menghilangkan kesenjangan dan keterbelakangan terhadap teknologi digital di pendidikan,” papar Retno.


Negara, kata Retno, setidaknya perlu mengeluarkan subsidi internet untuk rumah-rumah dan menyediakan komputer jinjing gratis untuk para siswa miskin. Para guru honorer yang bergaji minim, seharusnya juga dapat subsidi yang sama agar pembelajaran daring dapat terlaksana.

Selain masalah pendidikan, Unicef juga menyatakan pandemi covid-19 dikhawatirkan akan berdampak pada krisis gizi, yakni risiko memburuknya tiga beban malanutrisi, yakni tengkes (stunting), anak balita kurus (wasting), dan anemia pada ibu hamil.


Pandemi juga berdampak pada meningkatnya ketidaktahanan pangan dan terbatasnya akses bahan pangan yang sehat dan terjangkau, terganggunya layanan konseling gizi, dan dampak jangka panjang terhadap kasus anak balita kurus, anak balita pendek, kelebihan berat badan, dan obesitas.


Di sisi lain, Unicef Indonesia menyatakan, pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 mengakibatkan krisis pengasuhan dan keselamatan anak juga terjadi, terutama anak-anak yang tinggal di rumah dan lembaga pengasuhan, stres dan beban yang ditanggung orangtua dan pengasuh terkait pemenuhan kebutuhan dasar dan pencegahan penyakit meningkat. Bahkan rumah tangga yang dikepalai anak dan lanjut usia juga sangat rentan. Risiko terjadinya kekerasan, pelecehan, dan penelantaran dalam rumah tangga juga  meningkat.





173 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page